Saturday, September 17, 2016

once upon a time in ptma

..... and one of the biggest blessing in every company where i happily spent my tenure, the greatest team is always be there.
agile, smart & cozy off course.
i got this pic from one of the lady rocker.
i share here and let it tagged by their own.
.... kadarieu.... kadarieu.....
sebetulnya tak ingat kapan difotonya. tapi lagu favorit mereka masih terngiang.
ki-ka : putus cinta-jaja miharja, semua tak sama-padi,zombie-cranberries, faint-linkin park, jampe harupat-doel sumbang, so far away-A7X.
i miss you guys. specially on this silence office.
now i'm finishing my mid-report with just accompanied by our anthem SATU JIWA - POWER METAL

Wednesday, September 14, 2016

fahmi haykal anshari

giving a name to our beloved child is actually express our wish, our pray, our hope.
i was naming my son with a big hope. he must be a successful & smart person then ready to help another.

aku mengiringi dengan penuh sukacita dan keriangan semesta dari mulai proses kehamilan, melahirkan, hingga belajar memandikan dan mengajaknya tertawa riang dalam keceriaan balita hingga beranjak remaja.

segala kelelahan hari ini seketika sirna saat ada pengkinian informasi.
sekolah dan kegiatan pondoknya sepertinya berjalan lancar.
pernak-pernik & peralatan naik gunung yang harus dibeli dengan harga cukup tinggi hingga harus re-budgeting, tidak terasa sebagai biaya. karena ini investasi.
ekskul silat masih terus dijalani. ada inisiatif baru. english course.

berat? tentu saja akan terasa jadi beban kalau dirasa cuma sekedar jadi kewajiban belaka.

jalani saja dengan sukacita. karena buah dari kerja keras selalu akan manis terasa.
kalaupun harus ada upaya lebih janganlah dulu berbangga dan merasa puas.
akan selalu banyak orang lain di luar sana yang berbuat lebih baik dari yang kita lakukan.
nikmati saja & jalani dengan benar. prosesnya yang akan berharga dan bukan hasil akhir yang mungkin berbeda.

 فاذا عزمت فتوکل علی الله

 "... and when you have decided, then rely upon Allah   " [Aal-E-Imran : 159]

Kepada Sang Pemberani


langkah pertama sempat tersendat, berat
padahal setahun bagaikan sehari
tapi seharipun pastilah terasa lama
ketika kita tak mencoba bahagia

lihatlah mataku kini tajam bersinar
daguku kini tegak mendongak
langkahku kini kuat menghentak
dimana hidup harus diperjuangkan
maka kesitulah aku menuju

Wednesday, August 31, 2016

LELAKI DARI NERAKA

CERPEN KARYA EEP SAEFULLOH FATAH


Tiba-tiba saja lelaki itu menyeruak masuk lagi ke dalam hidupku. Suara baritonnya di ujung telepon pagi ini membuatku sesak napas sekaligus membuyarkan hari yang semestinya lapang dan ringan ini.
Kami berjumpa pada sebuah malam yang panas dua puluh lima tahun lalu. Berdiri di atas podium dengan dagu agak terangkat, ia memperkenalkan dirinya dalam rentetan suara berat dengan kalimat-kalimat yang ringan dan dingin. Seorang pemimpin aktivis mahasiswa terkemuka, datang dari sebuah universitas besar di Ibu Kota. Namanya menjulang, kerap disebut dengan hormat oleh para demonstran mahasiswa hingga ke banyak pulau yang jauh.
Pidato singkat perkenalannya boleh jadi paling kami tunggu di antara serangkaian panjang pidato perkenalan dari pimpinan delegasi semua kampus. Ditunggu dan ternyata bermutu! Dialah bintang paling terang di langit Yogyakarta malam itu.
Ia bukan saja memperkenalkan dengan amat efisien semua anggota delegasinya, tapi dengan tandas memberi setengah lusin catatan untuk agenda-agenda pokok pertemuan. Paparannya tertata, menukik langsung ke sasaran. Sungguh-sungguh efisien.
Tapi dagu itu tak lagi mendongak ketika tangannya dengan kelembutan yang berbekas panjang dalam ingatanku memegang dahiku.
”Tinggi sekali suhu tubuhmu. Panas sekali,” katanya lirih. ”Harus secepatnya kita bawa ke dokter,” lanjutnya. Lebih mirip gumaman.
Lalu, selebihnya terbangunlah sebuah sejarah kecil kami. Sebuah sejarah yang amat pendek.
Aku sungguh tak ingat persis pangkal ceritanya. Dialah yang membawaku ke dokter di tengah kota, tak jauh dari fakultas ekonomi, tempat kami berkumpul untuk sebuah kongres dan serangkaian seminar nasional hari-hari itu.
Demam tinggi itu menarikku terbaring di atas tempat tidur asrama tempat kami menginap selama nyaris satu setengah hari. Aku tak ingat, bagaimana awal hikayatnya hingga dengan amat segera kami menjadi amat dekat, lekat dan rekat.
Yang aku sangat ingat, dia selalu menjengukku di tiap jeda antarmata acara. Memegang tanganku sesekali. Memandangku dengan tatapan yang sulit kumengerti. Dan membisikkan kata-kata pengharapan, bukan sekadar doa lekas sembuh, yang membangkitkan getaran-getaran aneh, melonjak-lonjak dan tak beraturan di kepalaku.
Hari-hari yang tersisa kemudian adalah hari-hari kami.
”Pembicara dan materi seminar ini sungguh membosankan,” katanya suatu pagi. Aku hanya mendengarkan. Takzim seperti biasa. Seperti jemaat setia di hadapan pengkhotbah agungnya.
”Dan tak bermutu,” katanya lagi.
Maka, kami pun membolos dari banyak sekali mata acara seminar berhari-hari itu. Menyusuri Malioboro. Berkeliling Yogyakarta di atas becak. Menyelusup di tengah sebuah bazar murah di sepanjang sisi Mandala Krida. Menyisir setiap kios yang memajang buku-buku bajakan. Menghabiskan nyaris sepenggalan hari di Gembira Loka.
Bagiku, hari-hari membolos seminar bersama lelaki itu justru merupakan rangkaian seminar menyenangkan. Bahkan, itulah hari-hari kuliah terbaik sepanjang hidupku.
Selepas ciuman pertama kami, yang terjadi begitu saja, ia bercerita tentang seorang profesor ekonomi politik Jerman yang baru saja mengumumkan buku terbarunya. Nama profesor itu tentu saja tak bisa kuingat lagi. Yang kuingat, sang profesor mengagumi Jepang dan meratapi Brasil.
”Pembangunan Jepang sukses lantaran menjaga jarak dari kapitalisme internasional yang penuh jebakan. Mereka membangun kapitalisme disosiatif. Mereka meminjam cara kerja kapitalisme sambil membentengi diri dengan kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pasar domestik. Sementara itu, Brasil keliru dengan membangun kapitalisme asosiatif. Tunduk, bertekuk lutut berhadapan dengan kapitalisme internasional. Jadilah mereka zona kehancuran. Monumen kegagalan pembangunan,” kuliahnya berapi-api.
Di depan orang utan Gembira Loka yang termangu-mangu, ia bercerita dengan penuh luapan kekaguman tentang Doktor Soedjatmoko. Ia menyebut Sang Doktor sebagai seorang humanis dengan pikiran yang meloncat- loncat ke depan. Kutipannya tentang Soedjatmoko kemudian berhamburan seperti rangkaian gerbong kereta, menderu-deru, tak habis-habis.
Yogyakarta hari-hari itu pun ditaburi banyak kutipan yang sebagian besar tak bersahabat dengan kepalaku yang sempit. Para pemikir besar itu berjejal-jejal di kepalaku dan anehnya menghasilkan rasa bahagia yang menghanyutkan.
Lelaki itu memang berhasil mengangkat derajatku tinggi- tinggi. Aku, seorang aktivis pemula, mahasiswi sebuah universitas di sebuah pelosok kota ujung timur Pulau Jawa, tiba-tiba diangkat naik menjadi teman bicara lelaki aktivis yang serba gemerlap. Aku tersanjung dan hanyut.
Diam-diam lelaki itu berhasil dengan cepat menyudahi peperangan dalam hatiku. Nyaris seluruh bagian hatiku telah ditaklukkannya tanpa ampun. Dan akhirnya, di hari yang sungguh terasa panjang itu, kami menyelusup masuk ke asrama yang melompong ditinggal para penghuninya mengikuti pidato kebudayaan seorang penyair besar di balairung Bulaksumur. Sungguh sulit kumengerti. Betapa mudah aku menyerah petang itu. Aku benar-benar hanyut. Tanpa perdebatan atau sekadar perbincangan panjang, jadilah dia ”lelaki pertama” dalam hidup perempuanku.
Di hari perpisahan kami, dia menggenggam tanganku erat. Tatapan matanya menggetarkan ulu hatiku. Mataku nanar dan nyaris berair. Mendung terasa menggantung di atas stasiun Tugu petang itu.
Aku benar-benar menangis ketika suara baritonnya menyeruput telinga kananku.. ”Aku telah jatuh cinta,” bisiknya lirih. Nyaris tak terdengar.
Lututku bergetar hebat. Tulangku serasa dilolosi ketika gerbong terakhir kereta itu musnah ditelan tikungan. Bukan hanya lelaki itu yang pergi ke Jakarta, tapi seluruh hatiku terbawanya serta.
Tapi, sejarah kami dimulai dan berakhir pada titik yang sama. Hari-hariku selepas Kongres dan Seminar Yogyakarta itu adalah sebuah penantian panjang tanpa ujung.
Lelaki itu lenyap dengan sempurna. Bulan-bulan dan tahun-tahunku yang panjang tak disinggahi sepotong pun kabar darinya.
Yang kutahu bertahun-tahun kemudian adalah namanya kerap benar mengisi berita utama surat kabar. Wajahnya nyaris setiap hari muncul dalam acara-acara pamer cakap televisi. Kejatuhan Soeharto telah menaikkan namanya. Dari balik bau bangkai kekuasaan Orde Baru, nama harumnya menyeruak semerbak ke mana-mana. Suara baritonnya akrab menggauli telinga siapa saja hingga ke dusun-dusun di pedalaman. Karier politiknya melejit.
Aku sendiri harus menutup rapat-rapat buku sejarahku dengannya. Semuanya sudah kuanggap tamat dan usai begitu saja. Tapi, kuhabiskan lima tahun untuk menanggung rasa sakit yang mengiris-iris.
Lima tahun penantian tanpa hasil itu telah mengubah dengan sempurna wujud lelaki itu di kepalaku. Dari lelaki pertama yang menyentuhku, yang kepadanya segenap jiwa, raga, pemujaan, dan cinta naifku kuserahkan, ia telah menjelma sebagai seorang bajingan tengik tak punya tanggung jawab, yang pada tiap pagi, siang dan petangku kukirimi doa masuk neraka.
Sejarah pendek itu makin lama makin lapuk dan menguap. Sejarahku yang sesungguhnya kemudian adalah menjadi istri bersahaja dari seorang suami yang bekerja keras dari pagi hingga petang dalam enam hari setiap pekan. Penantian dan pengharapan sia-sia akan lelaki itu memang berakhir setelah kusua seorang lelaki lain yang meminangku pada sebuah pagi biasa. Kini, aku telah dihadiahinya dua bidadari mungil dan satu jagoan kecil.
Dan sepi pagi hari rumah kami robek oleh dering telepon itu. Lalu, bungsuku berlari dengan napas memburu.
”Ibu! Ibu! Ada telepon! Katanya dari Istana Presiden!” Teriaknya berulang-ulang.
Semacam rasa waswas yang asing membikin goyah langkahku menjemput telepon di ruang tengah.
”Selamat pagi Ibu. Mohon maaf jika mengganggu. Saya ajudan Bapak Presiden. Bapak berkenan bicara,” suara formal di ujung sana mengguncang-guncang seluruh jiwaku.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, aku tahu pesawat telepon di ujung sana telah berpindah tangan.
”Selamat pagi Dyah. Ini saya. Apa kabar?”
Suara bariton itu menyeruak masuk ke dalam gendang telinga kananku. Berat, dengan kalimat ringan dan dingin. Suaranya benar-benar mengorek menguak kembali luka yang kupikir sudah benar-benar kering dan sembuh. Seperti sebuah suara dari neraka.
Bintaro-Pondok Indah, 15 Agustus 2009
<< SUMBER : https://cerpenkompas.wordpress.com/2009/09/06/lelaki-dari-neraka/#more-695 >>


NEKA [Cerpen karya Eep Saefulloh Fatah]

NEKA



Cerpen Eep Saefulloh Fatah (Kompas, 18 Mei 2014)

Neka ilustrasi

Malam jatuh dengan ubun terluka
Hujan menombaki senja
Ombak bagai kelebat mandau (*)
AKU biarkan sekujur tubuhku dirundung kuyup. Ini senja kesepuluh aku teronggok di tubir pantai gelap itu. Tadi siang, dua bis kota bergantian mengangkutku. Sebuah angkot melanjutkannya hingga ke loket karcis. Lalu kusambangi pantai hingga malam mengubur terang. Kupeluk sepi di tengah keramaian. Rute sebaliknya kutempuh hingga kamar kos di pinggir kampus membekap tidurku dalam kelelahan. 
Sekujur diriku terluka. Bahkan setiap hujan di musim yang basah ini serasa menombaki ulu hatiku. Hasratku untuk pulang terhadang rasa takut di ubun-ubun. Peperangan hasrat melawan takutku tak juga usai. Dan aku tak bisa bicara pada sembarang orang. Teman sekamar kosku sekalipun.
Itulah rentetan kalimat yang kusua dalam catatan harian Neka. Di atasnya tertulis ”1 Desember 2000”. Beberapa buku catatan harian Neka kutemukan terselip di lapis paling bawah tumpukan baju-baju di dalam lemarinya. Sebagai teman satu kamar kosnya, aku tak pernah berani dan merasa punya hak untuk membuka lemari itu, apalagi mengambil dan membuka buku hariannya. Sampai kuterima sepucuk surat yang datang sebagai petir di tengah siang bolong itu.
***
1 Oktober 2000:
Ini bukan sekadar soal Ayah. Ini soal keselamatan diriku. Dan terlalu banyak pelajaran buruk mengerangkeng pikiranku sekarang.
Sebulan sudah kabar itu sampai. Di pinggiran Dilli, Ayahku terbujur dalam sakit parah. Surat yang dikirim Ibu hanya menyebutkan, ”Neka, Ayahmu terus menanyakan kapan kamu pulang. Keadaannya memang sungguh payah. Lebih dari sakit-sakit sebelumnya. Dalam suhu panasnya, Ia terus saja mengigaukanmu.”
Aku membayangkan lelaki itu. Seorang Ayah terbaik yang bisa dimiliki oleh anak mana pun di dunia. Terbaring layu di ambin kayu rumah kami. Tentu saja tanpa kemampuan untuk membawanya ke rumah sakit di pusat kota. Membawa Ayah ke rumah sakit merupakan kemewahan tak terkira untuk Ibu yang harus berjuang keras untuk membuat anak-anaknya bisa makan hari itu. Gambar Ayah yang tergolek lemah tak berdaya terus mengganggu di pelupuk mataku. Tapi, tabungan keberanianku belum juga cukup untuk pulang menemani Ayahku yang gering payah itu.
Keberanianku lenyap bukan tanpa sebab. Kemerdekaan Timor Leste membawa serta banyak kerumitan untuk hidupku. Tepatnya, untuk kami para aktivis prointegrasi Timor Timur di Jakarta. Ini tahun keempat aku kuliah di sebuah universitas besar Jakarta. Semua sudah tahu bahwa aku adalah salah seorang aktivis prointegrasi yang paling nyaring. Sekalipun tentu saja tak senyaring Lopez, sepupuku.
Tapi, itulah. Lopez mati dengan dada berlubang bekas tikaman selepas sebuah diskusi malam di Pasar Minggu. Mayatnya mengambang di kali Ciliwung yang keruh dua hari kemudian. Semua kawannya mengenang Lopez dengan mengutip kalimat terakhir yang ia ucapkan dalam diskusi yang mengantarnya ke pintu ajal itu.
”Aku bersaksi bahwa rakyat Timor Timur harus merdeka. Kemerdekaan ini adalah harga mati. Tapi, aku bersaksi bahwa bukan kemerdekaan dari Jakarta yang kami butuhkan tapi dari para begundal yang menyebut dirinya pejuang-pejuang kemerdekaan Timor Leste. Mereka adalah para begundal yang mengatasnamakan rakyat untuk kembali menjajah kami. Perjuangan mereka untuk kemerdekaan Timor Leste tak lebih dan kurang adalah topeng untuk menyembunyikan niat busuk mereka: memanjakan rakyat Timor Timur dalam kebodohan dan menguras habis kekayaan bumi yang mereka injak untuk memperkaya para begundal itu.”
Lima lubang bekas tikaman di dada Lopez adalah jawaban untuk pidatonya yang berapi-api itu.
Aku membaca catatan harian Neka dengan pikiran tersedak. Tak kusangka sahabat baikku ini menyimpan pergolakan batin yang begitu keras di balik diamnya. Sebagai teman satu jurusan di satu kampus, bahkan teman satu kamar kosnya, tak sekalipun kudengar ia bercerita tentang pergulatan hasrat pulang melawan takutnya itu.
Sesekali Neka memang bercerita tentang kerinduannya pada Ayah yang sangat ia agungkan. ”Lelaki ringkih yang menyerahkan seluruh hidup dan matinya untuk keluarga, tanpa menyisakan secuil pun untuk dirinya sendiri”. Begitulah Neka menggambarkan Ayahnya dalam sebuah obrolan ketika kami membunuh waktu di kamar kos kami senja itu.
Aku mengenal Neka sebagai perempuan cerdas yang pendiam dan tak suka bercerita tentang dirinya sendiri. Ia seperti menyimpan terlalu banyak luka dalam masa lalunya sehingga selalu enggan tiap kali harus mengembalikan ingatan ke belakang.
Tak perlu perdebatan panjang untuk bersepakat betapa cantiknya Neka. Kulit coklatnya, mata bundarnya, hidung portugisnya dan tinggi semampainya adalah perlengkapan yang lebih dari cukup untuk menaklukkan banyak lelaki. Tapi, setahuku, ia tak pernah bergaul dekat dengan satupun dari banyak lelaki yang mengejarnya. Selalu menjaga jarak aman. Tak pernah sekalipun ia mengiyakan ajakan kencan yang kerap diajukan mereka.
”Aku tak boleh sembarang memilih lelaki. Hanya seorang lelaki terhormat yang berhak merebut hatiku. Juga keperawananku,” katanya sore itu.
Neka bukan hanya cantik, namun juga membawa ke mana-mana senyum tipis yang berhenti permanen pada kedua bilah bibirnya yang sempurna. Senyum ini ternyata punya fungsi lain yang tak kuduga: Menyembunyikan pergolakan batin yang begitu dahsyat sebagaimana kusua dari yang ia tuliskan di buku catatan hariannya.
Kami memulai kuliah di penghujung kekuasaan Soeharto. Neka datang bersama beberapa orang temannya, penerima beasiswa pemerintah Jakarta untuk siswa-siswa berprestasi seantero Timor Timur. Di tengah banyak teman sekampusku yang cantik-cantik, logat bahasa Indonesia Neka yang canggung membuat Neka sangat berbeda dan dengan cepat menarik perhatianku. Hingga akhirnya dengan cepat kami berkawan dekat.
Neka juga menarik perhatian banyak orang karena saat itu diskusi soal masa depan Timor Timur menjadi salah satu topik yang paling menarik minat para aktivis mahasiswa di kampus. Indonesia dalam transisi dari rezim Orde Baru ke era Reformasi yang penuh harapan. Kami beruntung menjadi mahasiswa di tengah semangat perubahan yang begitu menderu-deru, ketika diskusi-diskusi politik tak dipandang sebagai kegenitan melainkan keharusan.
Dalam diskusi-diskusi soal masa depan Timor Timur dan kemudian kemerdekaan Timor Leste itu mau tak mau banyak mata memandang ke Neka setiap kali dibutuhkan ”pandangan dari dalam”. Dan Neka yang pendiam selalu saja menjadi mitra diskusi yang cekatan dan tak pernah menyembunyikan sikapnya.
Menurutku, Neka selalu menunjukkan sikap mendua di hadapan banyak mahasiswa Jakarta yang tak tahu banyak tentang Timor Timur. Di satu sisi, ia tunjukkan dengan tegas bahwa integrasi ke Indonesia adalah pilihan terbaik bagi Timor Timur. Tapi di sisi lain, Neka selalu menegaskan dengan keras bahwa Jakarta telah banyak membuat kebijakan tak adil bagi warga Timor Timur. Neka menyebut Timor Timur sebagai anak kandung yang diperlakukan seperti anak tiri yang tak diharapkan oleh Jakarta.
Neka adalah penuntut perbaikan Timor Timur yang sangat gigih. Tapi, ia percaya bahwa keadaan tak akan membaik di tangan para gerombolan pro-kemerdekaan. Bahkan sebaliknya, ia menganggap para gerombolan itu sebagai orang-orang yang akan merampok kebahagiaan dan kesejahteraan dari setiap orang di Timor Timur. Bagi Neka, mereka adalah para penari yang tak sungkan berpesta di atas irama gendang penderitaan rakyat Timor Timur.
Sikap mendua itu membuat Neka seperti seorang Timor Timur yang benci tapi rindu pada Indonesia. Ia pro-integrasi tapi juga pengeritik Jakarta yang keras dan pedas.
Itulah yang membuat Neka seperti tak punya tempat di dua sisi persoalan sekaligus. Bagi sejumlah mahasiswa Timor Timur yang diam-diam mencita-citakan kemerdekaan dari Jakarta, Neka adalah musuh dalam selimut. Sementara bagi banyak mahasiswa Jakarta yang tak suka kerewelan dan sikap kurang berterima kasih warga Timor Timur, Neka seperti kerikil dalam sepatu. Kecil tapi mengganggu.
Maka kemerdekaan Timor Timur bukan saja tak membuatnya bahagia tapi juga membuatnya canggung. Para mahasiswa Timor Timur di Jakarta yang pro-integrasi seperti Neka dilanda ketakutan ketika membayangkan pulang. Timor Leste bagi mereka seperti kampung halaman yang asing. Sebuah oksimoron.
Dengan ketakutan itulah Neka mesti bergulat ketika sakit Ayahnya mengundangnya pulang.
”Aku harus pulang,” kata Neka pada satu sore di beranda depan kamar kos kami.
”Harus. Aku tak punya pilihan lain. Ayahku sakit keras,” katanya lagi seperti bergumam.
Setelah berkelahi dengan ketakutannya sendiri, akhirnya Neka memang memutuskan pulang. Ia tak mau kehilangan kesempatan bertemu ayahnya sebelum maut menjemput lelaki tua yang amat dicintainya itu.
Lelaki tua yang digambarkan Neka dengan takzim sebagai orang yang berjasa mengajarinya tentang pentingnya makro dan mikro kosmos bagi orang Timor Timur. ”Tugas mulia setiap orang Timor Timur,” kata Neka mengutip Ayahnya, ”adalah menyambungkan makrokosmos, dunia di atas sana, dengan mikrokosmos, dunia tempat kita berdiri.”
Kerinduan itu menjelma dalam pilihan kata yang dibuat Neka untuk menggambarkan Ayahnya. ”Lelaki yang mendekatkanku pada gereja tua kampung kami dan membuat aku selalu dirundung rindu pada kayu-kayu dinding gereja yang lapuk itu.” Atau ”Lelaki yang menukarkan prinsip-prinsip hidupnya yang keras dengan kemiskinan tapi dengan tetap menunjukkan tanggung jawab penuh untuk keluarganya.”
***
Neka pun pergi meninggalkan kampus yang baru saja memulai semester baru. Aku sendiri kemudian dilanda cemas karena kehilangan kabar darinya nyaris satu semester. Sampai akhirnya pada sebuah siang bolong sepucuk surat mampir ke tempat kosku membawa jawaban untuk kecemasanku. Jawaban yang tak kuharapkan.
Dina yang baik,
Aku harap kabarmu baik-baik saja. Mohon jangan tanyakan balik bagaimana kabarku karena ”baik” dan ”buruk” sudah tak berarti apapun buatku sekarang.
Aku menulis ini untuk minta tolong agar kamu simpankan baik-baik beberapa buku catatan harian yang kusimpan di lemari pakaian. Waktu pulang tempo hari, mustahil buku-buku itu kubawa serta. Isinya akan membawaku ke tiang gantungan gerombolan pro-kemerdekaan yang sekarang sudah berganti rupa jadi penguasa.
Tanpa buku-buku harian itupun aku pulang seperti menyerahkan diri ke tiang gantungan mereka. Aku memang masih hidup sekarang tapi tinggal jasad saja. Jiwaku sudah benar-benar mereka gantung dan mati.
Sesampainya di Pelabuhan Dilli, seseorang yang tak kukenal, tapi mengaku utusan keluargaku, menjemputku. Aku tak dibawanya pulang ke rumah tapi ke dalam sebuah hutan.
Dengan mata tertutup, aku dibawa ke sebuah tempat dan dihadapkan pada sekelompok orang yang menginterogasiku dengan buas. Aku dipaksa mengaku sebagai agen intelijen yang dikirim Jakarta. Aku juga mereka tanyai berulang-ulang tentang hubunganku dengan Lopez. Menyangkut Lopez, mereka seperti membutuhkan setiap detail. Entah untuk apa dan kenapa.
Mereka menyiksaku tanpa ampun karena aku tak tak punya jawaban yang mereka harapkan. Selepas dua hari diinterogasi, pada sebuah malam, seorang lelaki menyergapku dan memperkosaku tanpa bersuara.
Tahukah kamu Dian, siapa lelaki itu? Di hari berikutnya aku tahu bahwa lelaki itu adalah pamanku sendiri!
Aku kemudian sedikit bernasib baik karena satu orang dari mereka jatuh kasihan padaku. Dia membuka jalan bagi pelarianku dari tempat jahanam itu. Aku sekarang hidup dalam sebuah tempat persembunyian dijaga sekelompok aktivis hak asasi dan gereja.
Dina,
Jika surat ini kamu terima, berarti kita harus berterima kasih pada seorang anak muda, seorang wali gereja. Berkat jasa baiknya aku bisa menyelundupkannya.
Sekali lagi, tolong simpan buku-buku catatan harianku. Kamu boleh membacanya untuk tahu apa yang terjadi di sini dan apa yang selalu aku risaukan sepanjang perkuliahanku di Jakarta.
Barang-barang yang lain boleh kau simpan atau buang. Terserah kamu saja.
Dina,
Aku menulis ini untuk mengabarimu bahwa aku tak akan kembali ke kampus, ke Jakarta. Aku kehabisan alasan untuk kembali seperti juga sebetulnya kehilangan alasan untuk bertahan hidup. Bukan hanya karena pemerkosaan biadab yang telah membunuh jiwaku tapi juga karena aku tak bisa memaafkan diriku sendiri yang tak bisa menemani mendiang Ayahku di hari-hari terakhir hidupnya.


Catatan:

(*) Cuplikan sajak Zen Hae dari kumpulan Paus Merah Jambu (Akar Indonesia, 2007).
<< SUMBER : https://lakonhidup.wordpress.com/2014/05/18/neka/#more-4903 >>

Tuesday, August 23, 2016

Alhamdulillah..... Astaghfirullah

Seorang teman pernah berujar bahwasanya ketika kita bersyukur atas nikmat yang kita terima, mungkin kita juga sepatutnya memohon ampun.
Karena terkadang kita bersyukur karena melihat kekurangan orang lain dan.
Mobil butut yang sering kita merasa malu mengendarainya menjadi terasa berharga cuma karena liat tetangga masih memakai motor.
Rumah permanen yang masih belum juga lunas cicilannya dan sering terasa kurang nyaman menghuninya menjadi seketika menjelma jadi istana ketika melihat teman atau kenalan kita masih tinggal di rumah sewa yang cuma sepetak nan kumuh dan sempit.

Dalam banyak hal, kita merasakan nikmat bila melihat orang (sepertinya) menderita.
Walupun bisa jadi mereka yang kelihatannya serba kekurangan materi tetapi lebih menghargai dan menikmati setiap detik kehidupan yang mereka lewati

Sunday, September 27, 2015

ngemplong tapi terus heurin letah

ngalongok si cikal. tiluan naek kareta. lumayan rada mopo balas cape. tapi ngemplong.reugreug ningali budak hegar cenghar. balik deui teh bungangang bari angger teu kendat muntang ka pangeran mugia anaking jimat awaking salawasna sehat soleh suhud. sing betah. cageur bageur bener pinter.

orokaya. geuning mokaha, rada jauh mengpar tina bahruteng. itungan saanu geletuk sakitu. atuh jadi ileg-ilegan.
pasini ka itu, jangji ka ieu. jadi ngolesed. jadwal ulang. ngurangan. mundur.

tamaha alatan mindeng teuing tamada. hese ngomong. heurin ku letah.
ka tatangga sabeulah, satukangeun, sagigireun, mangka kabeh sahandapeun (heueuh pan uing pangggedena).

lahlahan.wayahna.rek kumaha deui da bonganna. najan ngahegak angger kudu dihareupan.
pa... ceu... jang.... hampura. ukur bisa sakieu heula. ingsa alloh sasih payun sasesana digemblengkeun.

cak siah.... !!!!